Rabu, 11 Februari 2009

Hukum Investasi

bX-o2ai1i
BUILT, OPERATE AND TRANSFER SEBAGAI SALAH SATU BENTUK DIRECT INVESTMENT :
ANALISIS TERHADAP PERJANJIAN BOT ANTARA PERUSAHAAN DAERAH ANEKA INDUSTRI DAN JASA PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN PT. GOLDEN GATE PERDANA

Ririn Bidasari, SH
I. Pendahuluan
Berkaitan dengan berubahnya sistem pemerintahan dan sistem pembiayaan pembangunan di Indonesia, yaitu dari sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik beralih kepada satu sistem pemerintahan yang desentralistik, dari sistem pembiayaan pembangunan yang terpusat sepenuhnya menjadi pembiayaan pembangunan daerah sebagian dari pusat. Dengan perubahan komposisi pembiayaan dari pusat, pemerintah daerah dituntut untuk menghasilkan biaya sendiri untuk pembangunan daerahnya yang dinamakan pendapatan asli daerah (PAD) serta harus menyediakan pembiayaan lain untuk dana perimbangan pusat dan daerah sebagai wujud persatuan bangsa di tengah desentralisasi daerah – daerah di Indonesia.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam upaya mendapatkan pembiayaan pembangunan pokok lain di luar anggaran pendapatan dan belanja daerah yang diberikan pusat adalah melalui peningkatan nilai investasi di daerah. Meskipun investasi memiliki dampak yang positif dan negative, tetapi bagaimanapun juga pemerintah daerah sangat memerlukan suntikan swasta untuk pembangunan kesejahteraan di wilayahnya, baik itu oleh swasta asing ataupun swasta nasional dikarenakan tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang sebagian besar masih relative rendah. Salah satu bentuk investasi langsung yang mungkin adalah suatu proyek Built, Operate and Transfer (BOT).

Untuk realisasi suatu kerjasama, seperti antara pemerintah dan swasta sudah pasti diawali dengan suatu perjanjian, baik itu perjanjian tertulis maupun perjanjian yang tidak tertulis untuk menjamin terlaksananya kerjasama dengan baik di kemudian hari. Esensi sebuah perjanjian adalah pemahaman bersama yang dicapai oleh dua pihak yang saling berhadapan. Dalam hal perjanjian antara pemerintah dan investor bermakna lebih kompleks karena perjanjian yang hanya ditandatangani oleh dua pihak tersebut akan mempengaruhi masyarakat daerha baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu muatan perjanjian perlu dikaji secara serius. Perjanjian yang dibuat harus mampu mengakomodir kepentingan semua pihak. Demikian juga dengan perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana, perjanjian tersebut harus memuat hal – hal yang disyaratkan hukum secara pasti dan mengakomodir possibilitas kepentingan yang mungkin terjadi di kemudian hari. Karena suatu perjanjian investasi yang baik adalah suatu perjanjian investasi yang dapat mengakomodir kepentingan pemerintah untuk peningkatan PAD, kepentingan investor untuk profit maximation dan kepentingan masyarakat luas selaku warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk menikmati kesejahteraan.






II. Permasalahan


Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dan PT. Golden Gate Perdana mencerminkan suatu perjanjian sebagaimana yang didefinisikan dalam KUHPerdata?
2. Asas – asas pokok apa saja yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu perjanjian ?
3. Bagaimana Kedudukan Perjanjian BOT dalam Sistem Hukum Perjanjian Indonesia?
4. Bagaimana keabsahan perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana ditinjau dari KUHPerdata Indonesia?
5. Hal apa yang perlu diperhatikan dalam muatan perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan investasi demi peningkatan kesejahteraan masyarakat?





III. Pembahasan


A. Identifikasi Keberadaan Perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana berdasarkan definisi perjanjian dalam KUHPerdata Indonesia
Dalam KUHPerdata Indonesia, definisi mengenai perjanjian terdapat dalam Bab II dari Buku III KUHPerdata Indonesia yang mengatur tentang “perikatan yang lahir dari perjanjian atau persetujuan”, tepatnya pada pasal 1313 KUHPerdata Indonesia , yang berbunyi sebagai berikut :
“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa unsur pokok, yaitu :
a. Persetujuan = perbuatan subjek yang bertujuan untuk saling mengikatkan dirinya satu sama lain
Dengan demikian pembuatan perjanjian oleh subjek pembuatnya pada dasarnya berfokus pada perikatan di antaranya. Perikatan itu sendiri kemudian dalam Pasal 1234 KUHPerdata Indonesia dinyatakan berfokus pada tiga alternatif perbuatan, yaitu untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian pembentukan perjanjian pada hakikatnya adalah bertujuan memberikan kewajiban salah satu pihak berupa salah satu dari prestasi tersebut dan sekaligus memberikan hak kepada pihak lain satunya untuk penerimaan prestasi tadi dan sebaliknya. Atas dasar rasio tersebut definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata Indonesia dinyatakan sebagai perjanjian obligatoir[1], yaitu perjanjian yang bersifat menimbulkan perikatan, yang implicit di dalamnya hak dan kewajiban di antara para pihak yang membuatnya.

b. Subjek perjanjian = minimal dua orang yang saling mengikatkan diri
Sebagaimana diketahui bahwa KUHPerdata Indonesia mengkualifikasikan terminology subjek hukum ke dalam kata “orang” (person). Dengan demikian terminologi “orang” dalam hukum tidak sebagaimana pengertiannya sehari – hari dalam masyarakat. Penyebutan kata “orang” dalam KUHPerdata Indonesia mengarah pada dua subjek hukum, yaitu manusia dan badan hukum. Dengan demikian yang dapat membentuk perjanjian menurut KUHPerdata Indonesia bukan hanya manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum (rechtpersoon; legal personality; persona moralis). Dalam pergaulan hidup di masyarakat terhadap badan hukum timbul dua pertanyaan pokok, yaitu apa dan siapa badan hukum tersebut? Persoalan tentang apa yang dimaksud dengan apa badan hukum tersebut merupakan persoalan teori hukum, sedang pertanyaan tentang kualifikasi badan hukum merupakan persoalan dogmatik hukum (hukum positif). Menurut Meijers, badan hukum adalah meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban, Logemann menyatakan bahwa badan hukum adalah suatu “personifikatie”, yaitu suatu “bestendigheid” (perwujudan; penjelmaan) hak dan kewajiban.[2]
Menurut R. Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak – hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim. R. Rochmat Soemitro mengemukakan, badan hukum ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Demikianlah beberapa pendapat ahli hukum mengenai definisi badan hukum, menurut saya definisi yang cukup tepat menggambarkan badan hukum adalah definisi yang dikemukakan oleh H.Th.Ch. Kal dan V.F.M. Den Hartog, yang menerangkan bahwa purusa wajar yakni manusia ialah subjek hukum. Akan tetapi lain daripada manusia, menurut hukum ada juga subjek hukum yang lain, yang tidak bersifat wajar atau makhluk, melainkan merupakan sesuatu “organisasi”. Organisasi yang memperoleh sifat sifat subjek hukum itu ialah purusa hukum atau badan hukum. Purusa hukum dapat bertindak dalam hubungan hukum sebagai purusa wajar, di mana ia boleh mempunyai milik, boleh berunding, boleh mengikat diri melalui perjanjian, boleh bertindak dalam persengketaan hukum dan sebagainya dan memikul tanggung jawab dalam arti hukum tentang segala perbuatannya.[3] Penyebutan “organisasi” tersebut dirasa lebih tepat dari sekedar “perkumpulan” semata, karena terminologi “badan hukum” menurut hukum seyogyanya memiliki struktur kepengurusan tertentu, bukan sembarang perkumpulan manusia.
Kemudian menjawab pertanyaan kedua mengenai siapa (kualifikasi) badan hukum yang terdapat dalam hukum positif adalah sebagai berikut :
1) Koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia (Undang – Undang No. 25 Tahun 1992 dulu Undang – Undang No. 12 tahun 1967)
Mengenai koperasi pada zaman Hindia Belanda dahulu diatur dalam :[4]
a. Stb. 1927 No. 91 jo 316 mengenai Regeling Inlandsche Cooperative Verenigingen, dan
b. Stb. 1933 No. 108 mengenai Algemene Regeling op de Cooperative Verenigingen.
2) Yayasan (Undang – Undang No. 16 Tahun 2001)
Sebelumnya yayasan tidak diatur secara tersendiri. Pengaturan yayasan sebagai badan hukum tersebar dalam beberapa peraturan, di antaranya terdapat dalam pasal 365, 365a, 899, 900, 1680 KUHPerdata Indonesia dan pasal 6 ayat (2), 236 Rv.
3) Perseroan Terbatas (Undang – Undang No. 40 Tahun 1997 dulu Undang – Undang No. 1 Tahun 1995)
Berkaitan dengan perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana, jika dikaji berdasarkan definisi adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian tersebut harus dilakukan berdasarkan persetujuan (kesepakatan), yang implicit di dalamnya menguraikan hak dan kewajiban para pihak.
Dalam perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana jelas terlihat pasal – pasal yang menggambarkan hak dan kewajiban para pihak.
2. Perjanjian harus dilakukan minimal di antara dua orang atau lebih yang diperkenankan oleh peraturan perundang – undangan.
Sebagaimana dikemukakan di muka pemaknaan kata “orang” mengarah pada manusia pribadi dan badan hukum. Dalam hal ini perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana memenuhi definisi, di mana pihak yang satu adalah badan hukum milik daerah dan pihak satunya lagi (pemohon BOT), PT. Golden Gate Perdana merupakan badan hukum swasta yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, yang berdasar KUHPerdata Indonesia layak melakukan perbuatan hukum.
Dengan demikian perjanjian yang dibuat antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana adalah suatu perjanjian menurut definisi, terlepas dari sah atau tidak sahnya perjanjian tersebut.
B. Asas – asas pokok dalam perjanjian
Ulasan terhadap asas – asas pokok perjanjian dipandang sebagi tiang penyangga hukum perjanjian dalam mengungkap latar belakang pola pikir yang melandasi hukum perjanjian. Mengingat sifat dasar dari asas – asas pokok perjanjian, Niewenhuis menyebutkan asas – asas sebagai asas – asas dasar (grondbeginselen).[5] Adapun asas – asas fundamental yang melingkupi hukum perjanjian adalah :
a. Asas konsensualisme (Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata Indonesia)
Bahwa perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak – pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui consensus belaka.
Asas ini memiliki keterkaitan dengan hukum kanonik yang melatarbelakanginya, yaitu perujukan pada dekrit Paus Gregorious IX, “pacta quantumcumque nuda servanda sunt” (kesepakatan, walaupun tidak dikukuhkan dengan sumpah, tetap harus dipenuhi).[6]
b. Asas kekuatan mengikat perjanjian (verbindende kracht der overeenkomst)
Yaitu bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat.
c. Asas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid)
Bahwa para pihak menurut kehendak bebasnya masing – masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak – pihak juga dapat bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak – pihak juga dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang bersifat memaksa, baik ketertiban umum ataupun kesusilaan. (Pasal 1338 KUHPerdata Indonesia)
Pemaknaan kebebasan di sini adalah kebebasan untuk :[7]
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, dan
4. Menentukan bentuk perjanjian, apakah tertulis atau tidak tertulis
d. Asas itikad baik (geode trouw)
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Berdasarkan asas itikad baik, para pihak (kreditur dan debitur) harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh akan kemauan baik dari para pihak.
Pada perkembangannya asas itikad bagi terbagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan pada itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dengan dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian yang tidak memihak) menurut norma – norma yang objektif. Dan dewasa ini pembentukan perjanjian mengarah pada suatu itikad baik mutlak atau itikad baik objektif.

C. Kedudukan Perjanjian BOT dalam Sistem Hukum Perjanjian Indonesia
Ditinjau dari keberadaan suatu jenis perjanjian di dalam KUHPerdata Indonesia, secara umum ada dua jenis perjanjian utama, yaitu perjanjian bernama (nominaat contract) dan perjanjian tidak bernama (innominaat contract). Perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata Indonesia. Ada tiga belas jenis perjanjian yang diatur didalam KUHPerdata Indonesia, di antaranya adalah perjanjian jual – beli, tukar menukar, sewa – menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam – meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, dan perdamaian. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUHPerdata Indonesia. Adapun yang termasuk dalam perjanjian bernama adalah perjanjian leasing, beli sewa, franchise, perjanjian rahim, joint venture, perjanjian karya, keagenan, production sharing, dan sebagainya.[8] Tetapi menurut Vollmar selain kedua jenis perjanjian tersebut, ada perjanjian jenis ketiga, yang mengandung unsur perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama sekaligus, yang disebutnya dengan nama “perjanjian campuran”.[9] Perjanjian campuran disebut juga dengan “contractus sui generis”, yaitu ketentuan – ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian khusus yang merupakan gabungan dari perjanjian bernama dan tidak bernama sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi diidentifikasi perjanjian dasarnya dengan metode penafsiran biasa (plain meaning), sehingga untuk penafsirannya hanya dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR 10 Desember 1936).
Dari keterangan tersebut, maka didapati bahwa perjanjian BOT adalah suatu perjanjian campuran dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Perjanjian terjadi antara satu pihak yang mempunyai modal tetapi tidak mempunyai tanah (investor) dengan pihak lain yang tidak mempunyai modal tetapi mempunyai sebidang tanah.
b. Di mana investor yang bersangkutan :
i. Membangun bangunan usahanya di atas tanah pihak yang satu
ii. Mengoperasionalkan usaha di atas bangunan sendiri
iii. Memberi keuntungan kepada pihak pemilik tanah (profit sharing)
c. Setelah jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian habis, maka :
i. Tanah objek perjanjian à dikembalikan kepada pemiliknya, dan
ii. Bangunan yang didirikan oleh investor à dihibahkan kepada pemilik tanah.
Dikatakan perjanjian campuran dalam perjanjian BOT terkandung 3 (tiga) jenis perjanjian yang merupakan gabungan antara perjanjian bernama (perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Indonesia) dengan perjanjian tidak bernama, yaitu :
1. Perjanjian sewa menyewa (saat memulai), yang merupakan perjanjian bernama.
2. Perjanjian pembagian keuntungan (saat proses operasional), yang merupakan perjanjian tidak bernama.
3. Perjanjian Hibah (setelah jangka waktu berlakunya perjanjian habis), yang merupakan perjanjian bernama.

D. Syarat Sah Perjanjian Menurut Sistem Hukum Indonesia dan Keabsahan Perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia dikatakan bahwa ada empat hal yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :

a. Kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Jika ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 KUHPerdata Indonesia dibaca dan diperhatikan dengan seksama, maka tidak akan ditemui pengertian, definisi atau makna dari kesepakatan bebas. Menurut ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata Indonesia tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata Indonesia.[10]
KUHPerdata Indonesia Pasal 1321 menyebutkan 3 (tiga) alasan untuk pembatalan perjanjian berdasarkan tidak adanya kesepakatan, yaitu :
1. Kekhilafan/ kesesatan (dwaling), jo Pasal 1322 KUHPerdata Indonesia
2. Paksaan (dwang), jo Pasal 1323, 1324, 1325, 1326 dan 1327 KUHPerdata Indonesia
3. Penipuan (bedrog), jo Pasal 1328 KUHPerdata Indonesia
Menurut Mariam Darus, pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak yang menawarkan dan pihak yang mengakseptasi penawaran.[11] Selanjutnya dikatakan Subekti bahwa apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu mengenai hal – hal yang pokok dari perjanjian harus juga dikehendaki oleh pihak yang lain, dengan kata lain mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.[12] Sehubungan dengan momentum terjadinya kesepakatan dalam kerangka pemahaman civil law system ada beberapa ajaran yang terkenal, yaitu :[13]
a. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
d. Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Dari KUHPerdata Indonesia dan beberapa argument yang diajukan sarjana hukum Indonesia tersebut terlihat bahwa kesepakatan hanya dilihat dari kulit keranjangnya saja, tetapi apa materi apa yang terkandung di dalam kesepakatan tidak dijumpai dalam KUHPerdata Indonesia dari argumen – argumen tersebut. Sebagai perbandingan terdekat perkembangan baru mengenai kesepakatan dapat dilihat dalam ketentuan baru KUHPerdata Belanda atau yang dikenal dengan NBW. Dalam Pasal 6 : 217 NBW telah diidentifikasi unsur – unsur dari kesepakatan, yang mana pasal tersebut menyatakan bahwa “suatu perjanjian lahir karena suatu penawaran dan penerimaan”. Selanjutnya dijelaskan bahwa makna penawaran dalam pasal tersebut adalah pernyataan kehendak dalam mana terkandung usul untuk mengadakan suatu perjanjian, usul ini harus memuat kewajiban – kewajiban terpenting yang timbul dari perjanjian, dan kemudian penerimaan terhadap usul tersebut akan “melahirkan” perjanjian. Selanjutnya dalam Pasal 6 : 219 NBW dijabarkan keadaan yang menyebabkan penawaran akan kehilangan kekuatannya, yaitu : (1) dalam hal penawaran ditolak pada saat penawaran diajukan, (2) dalam hal berlakunya suatu jangka waktu tertentu, dan (3) dalam hal si penawar menarik kembali penawarannya.[14]
Isu bisnis sekarang yang perlu diperhatikan adalah mengenai merger, konsolidasi ataupun akuisisi. Di mana keadaan – keadaan tersebut menyebabkan berubahnya person dan kedudukan pihak yang terikat dalam perjanjian di kemudian hari. Dalam hal terjadi kesalahan dalam perumusan pihak yang terikat dalam perjanjian (khususnya dalam hal pihak yang terikat berbentuk Perseroan Terbatas), maka fatal akibatnya karena perjanjian bisa dianggap tidak pernah ada sama sekali dengan dalih tidak ada kesepakatan disebabkan oleh pihak terikat telah di merger, akuisisi ataupun konsolidasi tersebut, sehingga perjanjian menjadi error in persona.
b. Kecakapan para pihak untuk membuat satu perikatan
Di dalam Pasal 1329 KUHPerdata Indonesia, dinyatakan bahwa :
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan – perikatan jika oleh undang – undang tidak dinyatakan tak cakap.”
Selanjutnya dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan kualifikasi orang yang termasuk dalam kategori tidak cakap menurut hukum, yaitu :
1. Orang – orang yang belum dewasa;
Kriteria dari orang – orang yang belum dewasa ini sendiri tergantung dari Undang – Undang memaksa yang mengatur untuk setiap karakteristik perjanjian tertentu. Secara umum dapat digunakan satu asas hukum, yaitu undang – undang yang baru dapat menafikan undang – undang yang lama. Adapun undang – undang terbaru yang mengatur masalah usia adalah Undang – Undang tentang Jabatan Notaris, di mana di sana ditetapkan usia minimal untuk melakukan perbuatan hukum adalah berusia minimal 18 tahun.
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
Menurut Pasal 433 KUHPerdata Indonesia, orang – orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk undang – undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian.[15]
Apabila seorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing – masing adalah orang tuanya atau pengampunya.
Mengenai penentuan cakap atau tidaknya para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian, maka arus dilihat berdasarkan peraturan perundang – undangan yang menaunginya.
Dewasa ini pernyataan kecakakapan harus disertai dengan pernyataan itikad baik. Pernyataan itikad baik yang dimaksud adalah dengan tegas menyebut dasar bertindak para pihak berdasarkan kualifikasi sahnya menjadi para pihak berdasarkan peraturan perundang – undangan di dalam perjanjian. Misalnya untuk perseroan terbatas, maka perseroan terbatas dalam penyebutan para pihak harus secara jelas dan tegas menyebutkan mengenai tanggal pengesahannya menjadi PT menurut hukum Indonesia, nomor pendaftarannya beserta notaris yang menjadi medianya.
3. Orang – orang perempuan, dalam hal – hal yang ditetapkan oleh undang – undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang – undang telah melarang membuat persetujuan – persetujuan.
Mengenai hal ini tidak lagi masuk dalam kualifikasi orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Di mana sejak tahun 1963 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di selutuh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami itu diangkat ke derajat yang sama dengan pria. Dengan demikian untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan ia tidak memerlukan bantuan suaminya lagi.[16]
c. Adanya suatu hal tertentu
KUHPerdata Indonesia menentukan kualifikasi benda yang tidak dapat dijadikan objek perjanjian. Benda – benda itu adalah benda – benda yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Objek suatu perjanjian sekurang – kurangnya harus dapat ditentukan.
“Benda – benda itu dapat berupa yang sekarang ada dan nanti aka nada di kemudian hari” (Pasal 1332 s/d 1335 KUHPerdata Indonesia)
d. Adanya suatu sebab yang halal.
“untuk sahnya suatu perjanjian, KUHPerdata Indonesia mensyaratkan adanya suatu sebab. KUHPerdata Indonesia tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan sebab. Yang dimaksud dengan sebab bukan hubungan sebab – akibat, tetapi issi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat iini, di dalam praktik maka hakim dapat mengawasi perjanjian tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang – undang (yang bersifat memaksa), ketertiban umum dan kesusilaan” (Pasal 1335 s/d 1337 KUHPerdata Indonesia).
Demikianlah syarat sah untuk berlakunya perjanjian menurut KUHPerdata Indonesia, maka jika dikaitkan dengan perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana, maka :
a. Kesepakatan
Adanya kesepakatan dari para pihak dapat dilihat dari buyi recital perjanjian sebagai berikut :
“Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 43 Tahun 2000 tanggal 3 Nopember 2000 tentang Pedoman Kerja Sama Antara Perusahaan Daerah Dengan Pihak Ketiga, Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I Sumatera Utara No. 26 Tahun 1985 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, dan Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/0580/EK/I.2/2003 tanggal 30 Januari 2003 perihal Hasil Penawaran Kerja Sama Aset Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Propinsi Sumatera Utara, Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/1109/EK/I/2003 tanggal 17 Pebruari 2003 perihal Persetujuan Prinsip Kerja Sama Build Operate and Transfer (BOT), Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/3559/EK/I/2003 tanggal 23 Mei 2003 perihal Perpanjangan Persetujuan Prinsip dan Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/10924/EK/I/2003 tanggal 9 Desember 2003 tentang Perpanjangan Masa Berlaku Persetujuan Prinsip Kerja Sama, maka PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat mengikat Perjanjian Kerja Sama Dalam Bentuk Build Operate and Transfer (BOT) – selanjutnya dalam perjanjian ini disebut “Perjanjian Kerja Sama BOT” – Pembangunan Gedung Maksimum Berlantai 5 (lima) Pada Ex. Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi beserta bangunan turutannya untuk digunakan sebagai Gedung Perkantoran, Pertokoan dan Swalayan.
Sehubungan dengan Surat Presiden Direktur PT. Petisah Putra No. 001/PP/I/2005 tanggal 26 Januari 2005, perihal Permohonan Pengalihan Seluruh Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab PT. Petisah Putra Atas Perjanjian Kerja Sama BOT Aset Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Petisah Putra No. 011/AIJ/I/2004 tanggal 20 Januari 2004, Akte Notaris No. 6 oleh Notaris Halim AK, SH.
Berdasarkan kesimpulan Rapat Badan Pengawas Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara tanggal 4 Pebruari 2005 serta ketentuan-ketentuan yang digariskan telah diterbitkan Surat Gubernur Sumatera Utara No. 539/778/EK/I/2005 tanggal 8 Maret 2005 Perihal Persetujuan Prinsip Pengalihan Hak dan Kewajiban Pengelolaan Kerja Sama BOT Aset Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi dari PT. Petisah Putra kepada PT. Golden Gate Perdana, dan berdasarkan Akte Kesepakatan Saudara Ngarijan Salim mewakili Direksi PT. Petisah Putra dan Saudara Marihot Nainggolan mewakili Direksi PT. Golden Gate Perdana tanggal 4 Mei 2005 No. 8 diperbuat oleh Diana Nainggolan, SH Notaris di Medan serta Akte Legalisasi Pernyataan No. 1297/LEG/2005 tanggal 4 Mei 2005, No. 1298/LEG/2005 tanggal 4 Mei 2005, No. 1299/LEG/2005 tanggal 4 Mei 2005 dan No. 1300/LEG/2005 tanggal 4 Mei 2005 yang diperbuat oleh Diana Nainggolan, SH Notaris di Medan.”

b. Kecakapan
Sebagaimana diketahui para pihak adalah berbentuk perusahaan. Dengan demikian penentuan orang yang cakap untuk mewakili kedua pihak harus merujuk kepada peraturan perundang – undangan yang mengaturnya. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :
Berdasarkan ketentuan tersebut maka orang yang cakap menurut hukum untuk mewakili Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara adalah pimpinan dari badan hukum public tersebut, sedangkan yang cakap untuk mewakili PT. Golden Gate Perdana menurut hukum adalah pengurusnya (direksinya).
Dalam perjanjian Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana komposisi pihak yang mewakili termuat dalam penyebutan para pihak sebagai berikut :

“Pada hari ini Rabu, tanggal empat bulan Mei tahun dua ribu lima, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
1. Drs. M. SITANGGANG :
Alamat Jalan Putri Merak Jingga No. 3 Medan, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku Direktur Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 539/2765/K/XI/1999, tanggal 3 Oktober 1999, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara, yang didirikan berdasarkan Peraturan Daerah No. 26 Tahun 1985, dalam melakukan tindakan hukum ini telah mendapat persetujuan dari Gubernur Sumatera Utara selaku Ketua Badan Pengawas dengan Surat No. 539/778/EK/I/2005 tanggal 8 Maret 2005, selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.
2. MARIHOT NAINGGOLAN :
Alamat Jalan Pukat Banting No. 36 Kelurahan Banten, Kecamatan Medan Tembung Kota Medan, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku Direktur PT. Golden Gate Perdana berkedudukan di Medan yang didirikan berdasarkan Akta No. 6 tanggal 25 Juni 2003 diperbuat di hadapan Halim Alrasyid Kanggara, SH Notaris di Medan, di mana Akta Pendirian Perseroan ini telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. C-20650.HT.01.01.TH.2003 tanggal 2 September 2003, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. Golden Gate Perdana, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.”

Dari pernyataan para pihak tersebut, maka jelas terlihat bahwa syarat kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum mengikatkan diri dalam perjanjian adalah terpenuhi oleh kedua belah pihak. Dan demikian pula dengan persyaratan itikad baik objektif juga terpenuhi oleh para pihak dalam perjanjian.
c. Suatu hal tertentu yang tertentu nilainya
Pernyataan para pihak mengenai objek perjanjian dapat terlihat dari apa yang diatur para pihak dalam Pasal 3 angka (3) perjanjian yang berbunyi sebagai berikut :
“PIHAK KEDUA membangun Gedung baru maksimum berlantai 5 (lima) di atas tanah Ex. Gedung Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi Jalan Thamrin No. 48 Tebing Tinggi sebagaimana dimaksud Pasal 1 Perjanjian Kerja Sama ini, dengan nilai investasi sebesar Rp 13.000.000.000,- (tiga belas milyar rupiah) untuk digunakan menjadi Gedung Perkantoran, Pertokoan dan Swalayan.”




d. Suatu sebab yang halal
Pemaknaan sebab yang halal adalah bahwa materi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang – undang yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan. Di mana perjanjian BOT yang dibuat antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana adalah sesuai dengan Undang – Undang Otonomi Daerah yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan kreasi sendiri untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya demi menunjang pembangunan kesejahteraan daerah. Kemudian Undang – Undang PMA memberikan izin kepada pemerintah daerah untuk mengelola investasi di daerahnya. Di samping itu berdasarkan bentuk kerjasama dalam peraturan menteri dalam negeri di tahun 2005 menyebutkan bahwa Kerjasama yang dibolehkan antara pemerintah daerah dengan pihak swasta dapat berupa[17] :
a. Kontrak pelayanan (Service Contract) yang dicirikan dengan tidak ada investasi, terbatas pada operasional dan manajemen, keuntungan kecil, efisiensi terbatas dan cocok dilakukan pada masa krisis.
b. Kontrak pengelolaan (Management Contract), yang dicirikan dengan tidak ada investasi, adanya pengelolaan perusahaan, keuntungan kecil, efisiensi terbatas dan cocok dilakukan pada masa krisis.
c. Kontrak sewa (Lease Contract) yang dicirikan dengan tidak ada investasi, terbatas pada peralatan, keuntungan kecil, efisiensi terbatas dan cocok dilakukan pada masa krisis. 4) Bangun-kelola-alih milik (Built, Operate and Transfer)/Bangun-kelola-miliki-alih milik (Built, Operate, Own and Transfer) yang dicirikan dengan adanya investasi swasta, pembangunan sarana, biaya rendah kualitas tinggi, menguntungkan, efisiensi tinggi, cocok dilakukan pada kondisi ekonomi yang baik.
d. Konsesi (Concession) yang dicirikan dengan adanya investasi swasta, pengelolaan dan keuangan secara bersama, menguntungkan, efisiensi tinggi, cocok dilakukan pada kondisi ekonomi yang baik.
Dengan demikian pembuatan perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana adalah tidak bertentangan dengan hukum memaksa.
Namun dewasa ini di dalam perkembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan perjanjian di dunia meletakkan ketentuan perjanjian, seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia tentang syarat sah perjanjian hanya merupakan syarat lahirnya perjanjian, dan pemenuhan terhadapnya tidak secara otomatis menyebabkan suatu perjanjian sah di mata hukum. Hal itu terjadi berkaitan dengan perkembangan hubungan antara hukum privat dan hukum publik sejalan dengan berkembangnya doktrin negara kesejahteraan (welfare state). Di mana pengaturan isi perjanjian tidak semata – mata diberikan kepada para pihak, akan tetapi perlu diawasi oleh pemerintah. Dalam konsep “welfare state” pemerintah bertindak sebagai pengemban kepentingan umum yang menjaga keseimbangan individu dan masyarakat.[18] Di mana dalam hal perkembangan tersebut selain syarat yang dikemukakan dalam KUHPerdata Indonesia tersebut, dewasa ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga secara universal berkembang doktrin “Illegallity contract”, berdasarkan doktrin tersebut perjanjian yang telah memenuhi syarat dasar diuji lagi kesesuaiannya dengan undang – undang yang berlaku umum (statutes) dan kabijakan public (public policy).[19] Adapun yang dimaksud dengan “public policy” menurut David Easton adalah “the authoritative allocation of values for the whole society”[20], sementara pelaku dari pengalokasian nilai tersebut adalah pemerintah, sebagaimana dikemukakan Dye bahwa public policy adalah “whatever government choose to do or not to do”[21]. Dengan demikian suatu perjanjian dewasa ini harus diuji kesesuainnya dengan nilai – nilai yang berkaitan dengan kepentingan umum (values for the whole society).
Sebagaimana yang terjadi di negara – negara penganut common law, sebagai contoh dapat digambarkan oleh Cheeseman bagaimana perubahan cara pandang demikian seperti yang terjadi di United States of America, di mana hukum perjanjian Amerika bersumber dari common law Inggris. Penggunaan perjanjian pada mulanya dikembangkan pada masa yang lampau. Hukum perjanjian “common law” (the common law of contract) berkembang di Inggris sekitar abad ke – 15. Dan hukum perjanjian Amerika adalah bersumber dari English Common Law. Pada awalnya United States mengadopsi doktrin “laissez – faire” sebagai suatu pendekatan ke arah hukum perjanjian (the law of contracts). Doktrin tersebut berkembang di Inggris sekitar abad ke – 19 melalui yurisprudensi.[22] Di mana inti utama dari teori tersebut adalah kebebasan berperjanjian (freedom of contract). Teori tersebut didasari oleh asumsi bahwa para pihak dalam perjanjian dalam kedudukan yang “seimbang”, di mana para pihak (seperti konsumen, pengusaha kecil, petani dan pedagang) dianggap secara umum bertransaksi secara face to face, dan masing – masing memiliki pengetahuan dan posisi tawar yang sama (equal), sama – sama memliki kesempatan untuk memeriksa barang (good) yang ditransaksikan sebelum perjanjian dilaksanakan. Pasal – pasal dalam perjanjian dianggap merupakan hasil dari negosiasi para pihak dalam perjanjian. Dan oleh karena itu sangat sedikit peraturan pemerintah yang membatasi hak dalam perjanjian (right to contract) tersebut, di mana hukum hanya diperbolehkan untuk campur tangan (interfered) dalam spesifikasi dasar keadilan (fairly specific grounds), seperti misinterpretation dan undue influence.[23] Teori murni (classical law of contracts) menganggap pasal – pasal dalam perjanjian sebagai peraturan – peraturan objectif (objective rules) yang pada gilirannya dianggap menghasilkan kepastian (certainty) dan prediktabilitas dalam hal pelaksanaan perjanjian (enforcement of contracts). Teori ini terus dianut sampai terjadinya revolusi industri di Amerika. Revolusi industri telah mengubah banyak pandangan yang mendasari teori perjanjian murni (pure contract law). Sebagai contoh sejak revolusi industri perusahaan – perusahaan besar berkembang dan pada gilirannya menguasai sumber – sumber penghasilan yang penting, dengan demikian telah terjadi pergeseran pandangan masyarakat terhadap keseimbangan tradisional dari para pihak (traditional balance of parties) dalam hal posisi tawar (bargaining power), perusahaan – perusahaan besar memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Mata rantai distribusi barang (the chain of distribution goods) juga turut berubah sejak (1) pembeli (buyers) tidak lagi bertransaksi secara face to face dengan penjual (sellers), dan (2) tidak selalu ada kesempatan untuk menginspeksi barang sebelum penjualan. Pada akhirnya penjual (sellers) mulai menggunakan perjanjian – perjanjian baku (form contracts) dalam menawarkan barangnya kepada pembeli (buyers) dalam basis “take – it – or – leave – it”. Mayoritas perjanjian di Amerika kemudian mengarah kepada perjanjian yang dibakukan. Seperti misalnya perjanjian automobile, perjanjian hipotik (mortgage), perjanjian penjualan untuk barang – barang konsumsi (sales contracts for consumer goods), dsb. Berlatarbelakang perkembangan tersebut, baik pemerintah federal ataupun pemerintahan pusat menetapkan beberapa undang – undang (statutes) yang ditujukan untuk melindungi para konsumen, kreditur dan pihak lainnya dari perjanjian – perjanjian yang tidak seimbang (unfair contracts). Selanjutnya, pengadilan juga mulai mengembangkan pemikiran untuk menghindari memberikan “legal effect” kepada perjanjian – perjanjian yang menindas (oppressive) atau perjanjian – perjanjian lain yang tidak adil (unjust). Pemahaman baru tersebut disebut dengan “modern law of contracts”, yang pada intinya hak untuk menentukan isi perjanjian secara mandiri oleh para pihak dibatasi oleh peraturan pemerintah yang substansial (substansial government regulation).[24] Selanjutnya menurut Sir Henry Maine, pergerakan yang demikian seirama dengan berkembangnya prinsip standarisasi hubungan manusia.[25]
Hal demikian juga terjadi di Inggris tempat di mana common law berakar, sebagaimana digambarkan Treitel berikut :
“Important inroads on the principle of freedom of contract have been made by “legislation” passed to redress some real or supposed “imbalance” of bargaining power. The contents of many contracts are now regulated in some detail by legislation.
…… Under other statutes, terms are compulsorily implied into contracts and cannot be excluded by contrary agreement; while the validity of standard form contracts is subject to legislative restrictions, especially in contracts between a commercial suppliers of goods and services and consumer. In all these cases the main relationship between the parties is still based on “agreement”, but many of the obligations arising out of it are imposed or regulated by law.”[26]

Demikianlah beberapa perkembangan dalam kualifikasi sahnya suatu perjanjian. Dengan demikian perjanjian antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana untuk dinyatakan sah dan dapat berdampak hukum bagi para pihak harus tidak bertentangan dengan hukum memaksa yang terkait dengan kepentingan umum atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan umum. Secara teoritis dan umum, dalam kaitannya dengan investasi, ada beberapa hal yang berkaitan dengan kepentingan umum yang harus terjaga muatannya dalam sustu perjanjian investasi, yaitu berkaitan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), perlindungan terhadap lingkungan hidup (incorporating evviromental protection), pengembangan ekonomi nasional (economic development), penurunan angka kemiskinan (poverty reduction), dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (human capital development).[27] Karena bagaimanapun juga tujuan dasar dari dibukanya kesempatan investasi oleh pemerintah adalah untuk membantu proses pensejahteraan rakyat. Sebagaimana tujuan demikian juga termuat dalam perjanjian antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana, yaitu dalam pasal 2 perjanjian yang berbunyi sebagai berikut :
”Pasal 2
Bentuk dan Tujuan Kerja Sama
1. Bentuk Kerja Sama adalah Build Operate and Transfer (BOT) dengan Profit Sharing atau pembagian keuntungan.
2. Meningkatkan pendapatan Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara guna menunjang Pendapatan Asli Daerah.
3. Mewujudkan pembangunan kota sesuai dengan rencana pembangunan suatu daerah, khususnya Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dalam hal ini RUTRK dan RDTRK Kota Tebing Tinggi.
4. Memperluas lapangan kerja.”


E. Hal – Hal yang Seyogyanya Diperhatikan dalam Muatan Perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana

Dari beberapa penjelasan di muka diketahui bahwa banyak faktor yang harus diperhatikan untuk dimuat dalam perjanjian. Tentunya bukanlah hal yang diinginkan pemerintah bahwa karena adanya suatu investasi di daerahnya menyebabkan lingkungannya rusak, seperti air tanah habis terkuras akhirnya menyebabkan minimnya persediaan air bersih, sumber daya manusianya tetap dalam tingkat pengetahuan yang rendah atau bahkan mengalami loss generation, sumber daya alamnya habis sehingga tidak memiliki bahan olahan di masa yang akan datang dengan keuntungan sesaat yang terlihat di satu waktu. Di sinilah peran seorang sarjana hukum untuk merealisasikan keseimbangan antara kepentingan investor dankepentingan umum masyarakat, sehingga investasi yang masuk dapat memberikan siklus yang ajeg dalam konsep kesejahteraan rakyat.
Dalam kaitannya dengan perjanjian BOT ada bebarapa bagian pokok yang perlu pengaturan secara serius, yaitu mengenai :
a. Kelangsungan status pihak kedua yang berbentuk perseroan terbatas
Hal ini penting untuk menjaga agar perjanjian tidak menjadi batal demi hukum, dikarenakan kemungkinan go public dari suatu perusahaan terbatas. Dalam hal terjadinya go public akhirnya akan mengarah pada perubahan komposisi pemegang saham yang akhirnya dapat berakibat pada perubahan kepengurusan dan pengawasan secara organisatoris, yang akhirnya mungkin berujung pada perubahan total PT berikut namanya. Untuk itu dalam perjanjian perlu dirumuskan hal – hal yang berkaitan dengan hal ini bagaimana penanganannya dalam hal yang demikian ini terjadi. Dalam perjanjian antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 11 angka (1), yang menyatakan bahwa :
Jika terjadi perubahan/penggantian Direktur Utama PT. Golden Gate Perdana dan perubahan saham atau penggantian Komisaris Utama PT. Golden Gate Perdana, maka PIHAK KEDUA harus memberitahukan kepada PIHAK PERTAMA.

b. Status tanah
Dalam hal ini perlu diperhatikan antisipasi terhadap surat hak pengelolaan tanah yang diberikan Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara kepada PT. Golden Gate Perdana. Termasuk dalam kaitannya dengan pengagunan.
Sangat perlu diantisipasi dalam hal surat tersebut diagunkan oleh pemohon/ pelaksana BOT kepada Bank, karena sebagaimana diketahui berdasarkan undang – undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggunan, jaminan utang yang menggunakan hak tanggungan memberikan hak preferen atau hak diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Hal ini dapat terlihat jelas dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUHT yang menyebutkan bahwa :
“Hak Tanggungan adalah hal jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok – pokok agrarian, berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu – kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain”.

Adapun objek hak tanggungan yang dimaksud terdapat dalam Pasal 16 UUPA No. 5 Tahun 1960, yaitu hak milik, hak guna-usaha,hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut-hasil hutan.
Dengan demikian possibilitasnya, dalam hal PT. Golden Gate Perdana mengagunkan surat hak atas tanah yang diperolehnya dari Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara sebagai jaminan utang di dua bank atau lebih, kemudian suatu saat jika PT. Golden Gate Perdana mengalami keadaan di mana ia dinyatakan tidak mampu membayar dan akhirnya dimohonkan pailit, berdasarkan Undang – Undang Hak Tanggungan, Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara c.q. pemerintah sumatera utara dapat kehilangan tanah bahkan bangunan yang menjadi objek BOT, dikarenakan bank memiliki hak preferen dalam penyelesaian harta pailit.
Sangat disayangkan karena dalam perjanjian dimuat ketentuan Pasal 3 angka (5) perjanjian antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana sebagai berikut :
“PIHAK KEDUA diberi hak dan wewenang sepenuhya oleh PIHAK PERTAMA untuk mengagunkan Hak Pengelolaannya ke Bank atau Pihak Ketiga selama berlakunya Perjanjian Kerja Sama ini, termasuk mengadakan Perikatan atau Kerja Sama dengan Pihak Ketiga selama Perjanjian Kerja Sama ini berlaku.”
c. Status bangunan
Dikarenakan BOT ini mengarah pada suatu pengembalian tanah pemerintah dan pemberian bangunan secara sukarela kepada pemerintah dalam jangka waktu tertentu. Dalam perjanjian yang dibuat Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana dikatakan bahwa perjanjian BOT berlaku untuk jangka waktu 30 tahun. Sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 4 angka (1) perjanjian yang menyatakan sebagai berikut :
“PIHAK KEDUA menanam modal investasinya Rp 13.000.000.000,- (tiga belas milyar rupiah) untuk membangun Gedung sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (3) Perjanjian Kerja Sama ini, dan kepada PIHAK KEDUA diberi Hak Pengelolaan terhadap Gedung maksimum berlantai 5 (lima) berikut perlengkapan melekat pada Ex. Gedung Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi untuk usaha Gedung Perkantoran, Pertokoan dan Swalayan selama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak penandatanganan Perjanjian Kerja Sama BOT No. 011/AIJ/I/2004 tanggal 20 Januari 2004.”

Dalam jangka waktu sedemikian lama, harus diantisipasi kondisi bangunan agar saat diserahkan pada masanya (30 tahun setelah perjanjian disepakati), pemerintah mendapati kondisi bangunan tersebut sebagai bangunan yang masih layak pakai, karena jika tidak demikian sudah tentu pemerintah daerah mengalami subtract terhadap investasi BOT. Dalam hal ini, dalam materi perjanjian dapat diatur mengenai kewajiban investor BOT untuk merawat bangunan dengan memberikan laporan uji berkala minimal per tahun kepada pemerintah untuk memastikan bangunan akan layak pakai saat penyerahan 30 tahun ke depan. Serta dalam kaitannya dengan kepentingan umum harus diantisipasi bahwa pembangunan bangunan yang bertingkat lima tersebut memenuhi standar pembangunan yang baik, seperti meliputi bahan material yang digunakan, asal tenaga kerja yang digunakan untuk membangun bangunan dan pemenuhan kriteria AMDAL.
Hanya saja sangat disayangkan karena dalam perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana tidak dimuat hal – hal penting tersebut, konsern perusahaan daerah masih seputar “profit sharing”. Di mana dalam Pasal 9 perjanjian hanya disajikan bentuk pengawasan tanpa mekanisme yang jelas sebagai berikut :
“Gubernur Sumatera Utara atas nama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara selaku pemilik Aset Ex. Pabrik Es Sub Unit Sari Petojo Tebing Tinggi beserta gedung bangunan turutannya menunjuk Badan Pengawas Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara untuk mengawasi Perjanjian Kerja Sama ini.”

d. Pengaturan Profit Sharing
Dalam hal pembagian profit sharing perlu diperhatikan doktrin undue influence yang berkembang dewasa ini dalam penyusunan suatu perjanjian, yaitu bahwa posisi para pihak dalam perjanjian haruslah seimbang. Sebagaimana suatu peraturan yang sampai saat ini masih berlaku di Indonesia, yaitu Woeker Ordonantie (L.N. 1933 No. 524) yang memberikan wewenang kepada hakim untuk membatalkan suatu perjanjian dalam hal pihak yang meminta, mengambil atau mengenakan bunga kepada debitor yang terlalu tinggi di luar batas – batas prikemanusiaan dengan secara memaksa.
Untuk itu dalam hal profit sharing menurut hukum atas perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana seyogyanyalah seimbang.
Mengenai penetapan profit sharing dalam perjanjian antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana diatur dalam ketentuan Pasal 5 angka (1) perjanjian yang menyatakan bahwa :
“Terhitung sejak tanggal 20 Januari 2004 Perjanjian Kerja Sama BOT berlaku, PIHAK KEDUA membayar pembagian keuntungan (profit sharing) kepada PIHAK PERTAMA sebesar Rp 11.000.000,- (sebelas juta rupiah) setiap bulan.”

Dalam ketentuan tersebut saya melihat adanya ketidakseimbangan. Di mana pada dasarnya diketahui secara umum dan wajar bahwa suatu kegiatan bisnis tidak selalu menghasilkan keuntungan, ada kalanya pengeluaran setara dengan pendapatan (tidak ada laba), bahkan ada kalanya pengeluaran perusahaan lebih besar dari pemasukan yang didapatnya. Untuk itu adalah merupakan suatu pernyataan yang tidak seimbang bahwa dalam keadaan apapun, termasuk ketika pihak kedua mengalami kerugian, ia tetap harus menyetor Rp. 11.000.000,- setiap bulannya kepada perusahaan daerah.
Ini adalah kesalahan, dan jika hal ini dipertahankan berbahayanya adalah pada perusahaan daerah itu sendiri, karena ini dapat menimbulkan kemacetan usaha bagi pihak kedua, karena secara teoritis uang harus terus berputar untuk menjalankan usaha. Dalam hal tidak mendapat keuntungan, dengan demikian pihak kedua harus melakukan pinjaman kepada pihak ke – 3 atau bank yang memiliki posisi preferen dalam pelunasan utang disbanding perusahaan daerah.
Penetapan pembagian keuntungan yang seimbang adalah dalam hal penetapan profit sharing adalah didasarkan pada penghitungan persentase laba tertentu yang didapat pihak kedua setiap bulannya. Dalam hal demikian kemudian perlu dibuat satu klausul di mana pihak kedua harus memberikan laporan mengenai posisi aktiva dan pasiva perusahaannya kepada perusahaan daerah untuk kemudian dapat memastikan jumlah profit sharing yang bisa didapat oleh perusahaan daerah.
e. Pengaturan perjanjian yang berkaitan dengan eksistensi sentra kegiatan ekonomi masyarakat kecil
Hal ini penting diperhatikan dalam kaitannya fungsi bangunan yang akan didirikan oleh PT. Golden Gate Perdana, yaitu sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 angka (3) perjanjian antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana, yaitu untuk untuk digunakan menjadi Gedung Perkantoran, Pertokoan dan Swalayan. Materi perjanjian harus diatur sedemikian rupa untuk menjamin bahwa keberadaan bangunan multi fungsi tersebut tidak akan mematikan kegiatan ekonomi masyarakat kecil demi menjaga tingkat kemampuan ekonomi masyarakat. Sayangnya dalam perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana tidak memuat klausul pasal bermaterikan hal ini.



















Kesimpulan



1. Perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana memenuhi definisi perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata Indonesia.
2. Ada empat asas pokok yang harus dipenuhi para pihak dalam perjanjian, yaitu :
a. Asas konsensualisme
b. Asas kekuatan mengikat
c. Asas kebebasan berkontrak
d. Asas itikad baik
3. Kedudukan perjanjian BOT dalam sistem hukum perjanjian Indonesia terletak pada bagian perjanjian tidak bernama, yaitu dalam hal perjanjian campuran antara perjanjian bernama dan tidak bernama.
4. Perjanjian BOT yang dibuat antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia, tetapi belum memenuhi keabsahan suatu perjanjian menurut public policy (kepentingan umum).
5. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam muatan perjanjian BOT antara Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Provinsi Sumatera Utara dengan PT. Golden Gate Perdana dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan investasi demi peningkatan kesejahteraan rakyat adalah mengenai :
a. Kelangsungan status pihak kedua yang berbentuk perseroan terbatas
b. Status Tanah objek BOT
c. Status Bangunan proyek BOT
d. Profit sharing
e. Kelangsungan eksistensi sentra kegiatan ekonomi tradisional (masyarakat ekonomi lemah)





DAFTAR PUSTAKA



Chidir Ali, Badan Hukum, Cet.ke-III, P.T. Alumni, Bandung, 2005

David Easton, The Political System, Alfred A. Knopf, New York, 1953

Dominic Ayine, et.al, “Lifting the Lid on Foreign Investment Contracts : The Real Deal for Sustainable Development”, Journal of International Institute for Environment and Development, Number 1, September 2005.

G.H. Treitel, The Law of Contract : International Student Edition, Sweet and Maxwell, London, 1995

Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan Baru untuk Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, 2001

Henry R. Cheeseman, Contemporary Business Law, Prentice Hall. Inc, New Jersey, 2000

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas – Asas Wigati Indonesia, Alih Bahasa : Tristam P. Moeliono, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata : Jilid II, diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta, Rajawali Press, Jakarta, 1984

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

Mariam Darus, KUHPerdata Buku III : Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Cet. ke – II, PT. Alumni, Bandung, 2005

Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Cet.ke-II, PT. Alumni, Bandung, 2005

Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. ke – IIX, PT. Intermasa, Jakarta

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : sebuah pengantar, Edisi ke-II, cet.ke-IV, Lyberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2006

Salim H.S, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan ke – IV, Sinar Grafika, Jakarta

Surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 120/1730/ SJ tanggal 13 Juli 2005

Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Prentice Hall,Inc., Engelwood Cliffs, New Jersey, 1972

[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : sebuah pengantar, Edisi ke-II, cet.ke-IV, Lyberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, h. 49
[2] Chidir Ali, Badan Hukum, Cet.ke-III, P.T. Alumni, Bandung, 2005, h. 18
[3] Ibid, h. 19 – 20
[4] Ibid, h. 23
[5] Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas – Asas Wigati Indonesia, Alih Bahasa : Tristam P. Moeliono, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 95
[6] Ibid
[7] Salim H.S, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan ke – IV, Sinar Grafika, Jakarta, h. 7
[8] Salim H.S, Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan ke – IV, Sinar Grafika, Jakarta, h. 28
[9] H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata : Jilid II, diterjemahkan oleh I.S. Adiwimarta, Rajawali Press, Jakarta, 1984, h. 144 – 146.
[10] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Rja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 95
[11] Mariam Darus, KUHPerdataBuku III : Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Cet. ke – II, PT. Alumni, Bandung, 2005, h. 98
[12] R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. ke – IIX, PT. Intermasa, Jakarta, h. 17
[13] Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Cet.ke-II, PT. Alumni, Bandung, 2005, h. 24
[14] Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai Alasan Baru untuk Pembatalan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, 2001, h. 16 – 17
[15] Mariam Darus, Op.Cit, h. 103 – 104
[16] Ibid, h. 104
[17] Surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 120/1730/ SJ tanggal 13 Juli 2005
[18] Mariam Darus, Op. Cit, h. 111
[19] Henry R. Cheeseman, Contemporary Business Law, Prentice Hall. Inc, New Jersey, 2000, h. 230 – 232
[20] David Easton, The Political System, Alfred A. Knopf, New York, 1953, h. 129
[21] Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Prentice Hall,Inc., Engelwood Cliffs, New Jersey, 1972, h. 1
[22] G.H. Treitel, The Law of Contract : International Student Edition, Sweet and Maxwell, London, 1995, h. 2
[23] Ibid
[24] Henry. R Cheseeman, Op.Cit, h. 189
[25] Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 65
[26] G.H. Treitel, Op.Cit, h. 3
[27] Dominic Ayine, et.al, “Lifting the Lid on Foreign Investment Contracts : The Real Deal for Sustainable Development”, Journal of International Institute for Environment and Development, Number 1, September 2005.